Seperti biasa setiap weekend saya berkunjung ke rumah bulik atau ke tempat kerja bapak di Legok, Kab. Tangerang. Saya naik KRL jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung dari stasiun Pondok Ranji Bintaro dan turun di Stasiun Parungpanjang. Kemudian dilanjut naik angkot ke Legok.
Selama beberapa kali naik KRL, saya cuma pernah duduk 2 kali, itupun karena hari minggu dan pagi hari sekali. Selebihnya berdiri. Pernah saya ambil gambar di dalam KRL hari Sabtu sekitar pukul 5 (jam pulang kerja dan penuh). Kemudian diupload ke grup keluarga yang sebagian saudara sepupu saya adalah penguna harian KRL. Katanya, itu masih lengang. Masih muat 50 orang/gerbong lagi. Sontak saya agak terkejut sambil ngekek. Sudah dirasa penuh dibilang lengang(?) . .
Pagi ini, saya sengaja berangkat ke Bintaro agak siangan jam 7 pagi yang biasanya jam 5 pagi. Dan memang benar apa yang dikatakan sepupu saya. Gerbong KRL penuh sekali. Hampir tidak aja jarak antar penumpang yang berdiri (bahasa jawanya umpel-umpelan). Bagi pengguna KRL harian keadaan ini sudah biasa. Bagi saya, fenomena ini menarik karena memang belum terbiasa dan sedikit menghubung2kan dengan materi sewaktu kuliah dulu (meskipun ngga detail) yakni matkul Geografi Transportasi dan Komunikasi (geotranskom). Saya sedikit ingat, pembangunan transportasi itu ada 2 jenis: 1) Trade/people follow ship dan 2)ship follow trade/people. Kira2 KRL dan moda transportasi lain di Jabodetabek ini bisa saja termasuk tipe Ship follow trade/people, artinya penyediaan transportasi mengikuti permintaan/kebutuhan. Dengan kata lain, penyedian sarpras transportasi mengikuti perkembangan wilayahnya. Contohnya saat ini di Jakarta sedang dibangun MRT, LRT, dan tol JORR 2 untuk memenuhi kebutuhan transportasi yg terus meningkat.