Minggu, 13 Juli 2014

IDENTIFIKASI BENTUKLAHAN DAN PROSES GEOMORFOLOGI SUNGAI PROGO DI DESA CANDIREJO, BRORBUDUR, MAGELANG
Achmad Fadhilah
Jurusan Pendidikan Geografi, FIS, UNY.
Abstrak
Berbagai bentuklahan dan proses geomorfologi dapat kita alam di sekitar kita. Salah satu contoh bentuklahan dan proses geomorfologi terdapat pada aliran Sungai Progo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuklahan  asal prses fluvial di Sungai Progo yang berada di Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelnga, Jawa Tengah. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis yang mengacu pada sumber-sumber literatur dan citra satelit. Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bahwa Sungai Progo di Desa Candirejo memiliki variasi bentuklahan asal proses fluvial. Hal tersebut dicirikan oleh bentuklahan yang dihasilkan antara lain: pola aliran meander dan braided stream, point bar, dan dataran banjir. Aliran Sungai Progo di Desa Candirejo merupakan sungai berstadium dewasa dan termasuk zona transportasi. Ditandai dengan adanya pengangkutan muatan sungai oleh aliran berupa muatan dasar (bed load) dan muatan tersuspensi (suspended load). Namun demikian, pada Sungai tersebut juga berlangsung proses erosi dan deposisi.
Kata kunci: bentuklahan, proses geomorfologi, Sungai Progo, fluvial.
Pendahuluan
Salah satu cabang dari ilmu kebumian adalah kajian mengenai bentuklahan atau geomorfologi. Di dalam kajian geomorfologi terdapat berbagai macam sub-kajian sesuai bentuklahan yang dibahas. Bentuklahan yang dihasilkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang merupakan konsep dasar dalam geomorfologi. Misalnya perkembangan suatu bentuklahan dipengaruhi oleh intensitas proses fisis yang berlangsung pada suatu bentuklahan. Intensitas proses fisis tidak selalu sama setiap waktunya. Sehingga akan menghasilkan bentuklahan yang berbeda pula. Perkembangan bentuklahan  juga tidak terlepas dari struktur geologinya yang merupakan faktor penentu utama dalam evolusi bentuklahan.  Struktur geologi akan mempengaruhi kecepatan perkembangan bentuklahan. Faktor lainnya adalah proses-proses geomorfik yang berbeda terhadap bentuklahan. Masing-masing proses geomorfik tersebut akan mengembangkan karakteristiknya sendiri-sendiri. Hal tersebut juga akan menghasilkan bentuklahan yang berbeda.
Dari beberapa faktor atau konsep dasar di atas berbagai bentuklahan dapat dihasilkan. Salah satunya adalah bentuklahan fluvial. Dari uraian di atas juga dapat diketahui sedikit gambaran perkembangan bentuklahan fluvial yakni dengan menghubungkan konsep dasarnya. Meski demikian, perlu dilakukan observasi lapangan dan dekskripsi berdasarkan kajian pustaka untuk mengetahui perkembangan bentuklahan fluvial. Observasi lapangan dilakukan untuk melihat secara langsung keadaan suatu bentuklahan yang akan diteliti. Kegiatan tersebut juga dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang akan diteliti. Sedangkan deskripsi berdasarkan kajian pustaka dilakukan dengan cara menyesuaikan data dengan teori-teori yang sudah ada dan sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku.  Kemudian akan didapat penjelasan dan kesimpulan yang berisi hasil dari observasi lapangan.
Berkaitan dengan penulisan artikel ini, penulis berusaha menjelaskan bentuklahan fluvial khususnya bentuklahan fluvial sungai progo di Desa Candirejo Borobudur Kabupaten Magelan dengan cara mendeskripsikan kondisi bentuklahannya dengan kajian pustaka yang dipelajari. Kajian pustaka yang dipelajari berasal dari sumber-sumber buku yang relevan dan reliabel, jurnal ilmiah, dan diktat kuliah.
Kajian Pustaka
Awal mula terbentuknya bentuklahan fluvial
Proses pembentukan bentuklahan fluvial diawali dengan turunnya hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Air hujan diserap oleh lapisan tanah(infiltrasi). Ketika tanah tidak mampu lagi untuk melakuan infiltrasi air hujan, maka jatuhan air hujan akan menjadi limpasan yang mengalir kesegala arah (overland flow) Sedikit demi sedikit jatuhan hujan akan mengikis permukaan tanah dan mulai terbentuk alur-alur(rill). Proses selanjutnya adalah alur-alur akan terkikis dan berubah menjadi parit (gully). Pengikisan semakin hebat terjadi pada sisi samping dan dasar gully hingga menjadi semakin lebar dan dalam hingga akhirnya menjadi sebuah lembah (valley). Limpasan air yang berasal dari air hujan yang tdak terserap tanah kemudian mengisi bagian lembah dan menjadi aliran permanen, Selain berasal dari limpasan permukaan, air juga berasal dari rembesan pada dinding lembah setelah sebelumnya terinfiltrasi oleh tanah. Kemudian, air tanah yang berada pada zona jenuh air akan keluar melalui sisi samping lembah bahkan pada dasar aliran. Pada saat inilah mulai terbentuk aliran sungai yang mengalir secara terus menerus.
Konsep bentuklahan fluvial.
Bentuklahan fluvial merupakan bentuk lahan yang berhubungan dengan proses kerja aliran sungai. Bentuklahannya meliputi  penimbunan sedimen dan lembah sungai besar dan untuk menyatakan cakupan wilayanya dikenal istilah Daerah Aliran Sungai (DAS). Proses yang berlangsung pada bentuklahan fluvial antara lain yaitu:erosi, transportasi, dan deposisi (Charlton, 2008). Masing-masing proses mempunyai wilayah atau zona tersendiri dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Karakterisitik proses erosi terdapat pada sungai berstadium muda. Menurut Lobeck (dalam Lobeck, 1939) sungai berstadium muda merupakan aliran yang memiliki kecepatan dan volume yang mampu untuk mengangkut muatan sedimennya dan pada saat bersamaan mampu untuk mengerosi salurannya. Berdasarkan definis Lobeck tersebut, maka sungai muda dapat dijumpai pada daerah hulu. Karena pada daerah tersebut gradiennya besar sehingga berpengaruh pada kecepatan yang tinggi pula. Kecepatanya yang tinggi tersebut mampu mengerosi material yang berada di sekitar aliran.
Wilayah proses transportasi dapat dijumpai pada wilayah sungai berstadium dewasa. Pada wilayah tersebut, gradien sungai sudah mulai landai. Kekuatan untuk mengerosi pun berkurang. Namun, kekuatan aliran masih mampu untuk mengangkut muatan hasil dari erosi di bagian hulu. Proses selanjutnya adalah pengendapan muatan aliran atau deposisi. Proses deposisi ini terjadi ketika muatan yang terangkut sudah terlampau banyak dan kekuatan aliran untuk mengangkut muatannya lemah. Pada saat itulah muatan sedikit demi sedikit diendapkan. Proses deposisi ini biasanya banyak dijumpai pada sungai berstadium tua.
Namun demikian, proses tersebut tidak mesti terjadi pada satu wilayah yang tertentu saja. Bisa saja di wilayah transportasi dapat terjadi proses erosi bahkan deposisi. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: gradien sungai dan jenis muatan angkutan. Gradien sungai sangat mempengaruhi proses fluvial karena tingkat kemiringan suatu aliran akan menentukan kecepatan aliran sungai. Semakin besar gradiennya, maka semakin cepat aliran yang mengalir. Hal tersebut berimplikasi pada kekuatan aliran untuk mengerosi material yang semakin besar. Sebaliknya, semakin kecil gradiennya, maka semakin rendah kecepatannya alirannya dan kemampuan untuk mengerosi juga semakin berkurang.
Material yang terangkut akan mempengaruhi bentuklahan fluvial yang dihasilkan dan proses yang sedang berlangsung. Jenis muatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: suspended load, bed load, dan dissolved load. Muatan dasar (bed load) terdiri dari batuan-batuan kecil dan sedang serta kulit batuan yang baru terkelupas hasil dari proses pelapukan. Material-material tersebut mempunyai ukuran dan massa yang besar sehingga hanya berguling atau melompat-lompat di dasar sungai. Gerakan dari muatan dasar dengan kecepatan aliran yang tinggi mampu mengikis dasar aliran sungai dan membuat sungai semakin dalam . Sedangkan, apabila tenaga pengangkut mulai melemah, maka kekuatan muatan dasar untuk mengikis dasar aliran menjadi berkurang dan muatan tersebut mulai terendapkan. Endapan dari material dasar yang sudah terlampau banyak dan mencapai permukaan aliran akan diterobos oleh aliran permukaan yang masih kuat dan membentuk pola aliran teranyam atau (braided stream). Muatan selanjutnya adalah muatan tersuspensi (suspended load). Dari asal katanya, suspend berarti menunda, menunda untuk diendapkan. Muatan yang terangkut akan ditunda pengendapannya dan hanya melayang-layang dan digerakan oleh turbulensi arus di dalam aliran. Muatan tersuspensi terdiri dari partikel debu, pasir, dan lempung yang memiliki bentuk yang kecil dan massanya ringan. Akumulasi muatan tersuspensi yang banyak akan menyebabkan kecepatan aliran berkurang dan tenaga untuk mengerosi juga berkurang. Oleh karena itu, muatan tersuspensi hanya mampu mengikis secara lateral (menyamping). Akibat erosi lateral tersebut, maka akan membentuk aliran yang berkelok-kelok atau meander stream. Jenis muatan  yang ketiga adalah materil terlarut (dissolved load). Muatan tersebut berupa ion-ion yang tidak nampak dan tidak terlalu berpengaruh terhadap proses erosi.
Bentuklahan hasil proses fluvial
Proses fluvial akan menghasilkan suatu bentuklahan yang disebut bentuklahan fluvial (fluvial landform). Hal tersebut sesuai dengan konsep geomorfologi bahwa proses-proses geomorfik yang berbeda akan meninggalkan jejak tertentu pada bentuk lahan dan masing proses geomorfik akan mengembangkan himpunan karakteristiknya sendiri. Berdasarkan konsep tersebut juga menyebabkan variasi bentuklahan fluvial. Variasi bentuklahan fluvial disebabkan oleh agen-agen yang bekerja terhadapnya. Ada beberapa bentuklahan yang dihasilkan dari proses fluvial, antara lain:
1.      Kipas aluvial (aluvial fans)
Kipas aluvial adalah bentuklahan hasil dari akumulasi  sedimen yang telah diendapkan akibat adanya aliran dari daerah atas yang berarus deras menuju daerah datar sehingga sedimen akan menyebar dan terendapkan menyerupai kipas (Schumm dkk., 1987). Proses terbentuknya kipas aluvial diawali apabila muatan sungai sudah terlampau banyak mengalir ke daerah rendah dan terdapat perbedaan derajat kemiringan. Akibat perbedaan kemiringan tersebut, muatan akan terendapkan dan tersebar. Kipas aluvial dicirikan oleh sistem distribusi alur yang radial dan teranyam (braided). Dimulai pada daerah lembah yang sempit akan terbentuk kepala kipas (apex). Kemudian berangsur-angsur ke bawah anyamannya menjadi semakin besar. Muatan yang diendapkan didominasi oleh muatan dasar (bed load) terutama gravel. Karena kipas aluvial berada di daerah yang relatif datar, maka material yang kasar akan di bagian atas. Sedangkan material yang lebih halus diendapkan di bagian yang lebih bawah.
2.      Crevasse-splays
Crevasse-splays merupakan bentuklahan hasil endapan yang masuk ke dalam celah-celah yang sejajar dengan lengkunga sungai (belokan sungai). Bentuklahan tersebut terbentuk apabila banjir besar menghantam dinding lengkungan sungai bagian luar yang rendah. Akibat kecepatan aliran yang sangat kuat, lekukan tersebut terpotong dan membentuk celah atau crevasse. Sedimen yang terangkut kemudian meluap`ke dataran banjir membentuk lidah sedimen.

3.      Dataran banjir (floodplain).
Dataran banjir adalah bentuklahan hasil dari deposisi aliran yang paling umum dijumpai (Morisawa, 1968). Hasil endapan material sungai yang terbetuk karena adanya perpindahan arus ke arah lengkungan luar (outer band). Pada bagian dalam lengkungan yang berarus lemah, material sedimen terendapkan dan membentuk sedimen yang berbentuk bulan sabit. Dataran banjir ini mencakup daerah yang luas dan merupakan produk utama dari proses fluvial (Thornbury, 1969).
4.      Teras Aluvial
Teras aluvial dalah bentuklahan yang ditandai oleh adanya dinding tebing yang curam di satu sisi dan lembah di sisi yang lain. Bentuklahan tersebut terbentuk dari pemotongan ke bawah (downcutting) pada lembah yang lebar. Di saat yang bersamaan, terjadi erosi lateral pada sisi samping lembah. Sehingga akan menyebabkan arus sungai berpindah ke tempat yang lebih rendah. Sedangkan, pada bagian lembah yang lebih tinggi terbentuk teras aluvial.
5.      Point Bar
Point bar merupakan akumulasi deposisi sedimen sungai yang biasanya terdapat pada sungai dengan pola meandering. Deposisi sedimen terjadi pada bagian dalam lengkungan sungai (inner band) yang memiliki arus yang mengalir lemah. Sedangkan pada sisi luar (outer band), terjadi erosi menyamping karena pada bagian tersebut arus yang mengalir kuat dan mampu untuk melakukan erosi lateral pada dinding sungai.
6.      Delta
Delta merupakan bentuk lahan deposisional yang terbentuk pada muara sungai dimana akumulasi sedimen dihasilkan secara tidak teratur sepanjang garis pantai (Coleman, dalam ritter dkk., 1995). Delta mirip dengan kipas aluvial. Hanya saja pengendapan pada delta berlangsung di muara sungai yang berbatsan dengan tubuh air yang luas.



Bentuklahan Asal Proses Fluvial Sungai Progo di Desa Candirejo Borobudur Magelang
Sungai Progo merupakan salah satu aliran sungai yang melewati wilayah Kabupaten Magelang. Daerah Aliran Sungainya membentang dari Kabupaten Temanggung hingga bermuara di Pesisir Selatan Kulonprogo. Beberapa anak sungainya mempunyai hulu di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Sehingga sebagian muatannya berasal dari hasil erosi pada kedua daerah tersebut. Proses terbentuknya Sungai Progo diawali oleh hujan yang jatuh di bagian hulu di sekitar Temanggung. Kemudian setelah tanah tidak lagi mampu menyerap air hujan, maka air hujan tersebut menjadi limpasan yang mangalir di atas permukaan tanah (overland flow), Limpasan tersebut perlahan mengikis permukaan dan terbentuklah alur-alur(rill). Pada alur yang lebih besar akan terbentuk parit (gully). Proses selanjutnya parit tersebut terus-menerus tererosi sehingga semakin dalam dan melebar membentuk lemabh (valley). Pada lembah itulah air yang berasal dari limpasan maupun rembesan akan terkumpul menjadi aliran sungai. Aliran pada daerah hulu akan banyak mengerosi dan hasilnya akan diangkut menuju bagian yang lebih rendah dalam hal ini di angkut menuju Sungai Progo di Desa Candirejo.
Secara umum, bentuklahan Sungai Progo di Desa Candirejo merupakan daerah transportasi dan tergolong sungai dalam fase stadium dewasa. Namun, di daerah tersebut juga terdapat proses erosi dan sedimentasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh gradien lembah yang berada di Desa Candirejo sudah relatif landai. Sehingga mempengaruhi kecepatan dan kekuatan aliran menjadi berkurang. Faktor muatan yang terangkut juga mempengaruhi proses yang sedang berlangsung pada derah tersebut. Muatan dasar yang memiliki massa yang sedang akan mudah terendapkan maka terjadilah deposisi sedimen muatan pada daerah transportasi tersebut. Nmaun, jika muatan dasar terangkut oleh aliran yang kuat maka akan mampu untuk mengerosi bagian dasar sungai. Terjadilah proses erosi dasar sungai yang membuat sungai semakin dalam. Pada muatan yang tersuspensi dan tenaga pengakutnya emah, maka erosi hanya secara menyamping (lateral).
Dari proses tersebut dapat membentuk variasi bentuklahan di Sungai Progo. Kombinasi antara muatan dasar yang terendapkan dengan aliran yang lemah maka akan membentuk pola aliran yang teranyam. Pada pola ini, aliran yang sudah tidak mampu membawa muatan dasar akan menerobos dan membentuk celah-celah aliran. Namun, pada akhirnya celah tersebut akan kembali pada satu titik aliran. 
Selain pola aliran teranyam, pada Sungai Progo juga dapat ditemukan pola aliran berkelok (meander stream). Prosesnya dipengaruhi oleh kombinasi antara muatan yang terangkut dan kecepatan aliran. Muatan yang terangkut adalah jenis muatan tersuspensi (suspended stream) yang berupa debu, lempung, dan pasir. Muatan tersebut bergerak melayang-layang di dalam aliran akibat adanya turbulensi arus. Pada saat bersamaan, kecepatan aliran pengangkut berkurang yang disebabkan oleh banyak muatan dan gradien yang relatif datar. Sehingga menyebabkan tenaga untuk mengerosi berkurang dan hanya mengerosi ke arah samping. Proses tersebut terus berulang dan membetuk kelolan-kelokan aliran. Namun demikian, meander stream yang terdapat  pada Sungai Progo di Desa Candirejo tidaklah terlalu berkelok. Hal ini karena masih dipengaruhi oleh jumlah muatan tersuspensi tidak terlalu banyak dan muatan alirannya didominasi oleh muatan dasar (bed load) yang menjadi agen utaman erosi dasar aliran dan pembentukan aliran teranyam (tergantung kekuatan aliran dan jumlah muatan dasarnya).
Pada aliran sungai berpola meander dapat dijumpai bentuklahan hasil endapan sedimen yang disebut point bar. Bentuklahan serupa dapat dijumpai pada Sungai Progo di Desa Candirejo. Seperti yang terlihat pada Gambar 01. Point bar tersebut terbentuk oleh pengendapan muatan aliran yang lemah pada bagian dalam lengkungan (inner band). Sedangkan, aliran yang kuat menuju ke bagian luar lengkungan (outer band) dan mengerosi secara lateral. Kebanyakan material yang terkumpul berupa gosong-gosong pasir yang terkumpul dalam satu titik Mak dari itu bentuklahan yang dimaskud dinamakan point bar (titik kumpul gosong-gosong).
Bentuklahan selanjutnya adalah dataran banjir. Proses terbentuknya hampir sama dengan point bar namun dalam jumlah yang banyak dan wilayah yang luas. Dataran banjir di Sungai Progo ini dipengaruhi oleh morpologi lembah sungai yang datar. Biasanya terdapat pada sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak dan tenaga pengangkutnya mulai berkurang. dima erosi yang berlangsung adalah erosi lateral. Erosi lateral tersebut terjadi pada sisi luar lengkungan dengan aliran yang kuat. Sebaliknya, pada bagian dalam aliran yang mengalir lemah dan mengendapkan sedimen muatan sedimen inilah yang terkumpul menjadi dataran banjir.

Kesimpulan
Bentuklahan asal proses fluvial Pada Sungai Progo di Desa Candisari dicirikan oleh berbagai variasi bentuklahan antara lain:pola aliran meander dan braided stream, point bar dan dataran banjir. Sungai Progo di Desa Candisari merupakan sungai berstadium tuda dan termasuk dalam zona transportasi. Meski demikian, pada daerah tersebut juga dapat terjadi proses erosi dan deposisi. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor gradien dan muatan yang terangkut. Kedua faktor tersebut juga berpengaruh terhadap pembentukan pola aliran baik meander stream maupun braided stream.
DAFTAR PUSTAKA
Lobeck, A.K.. 1939. Geomorphology An Introduce to the Study of Landscapes. New York: McGraw-hill Book Company, Inc.
Morisawa, Marie. 1968. Streams Their Dynamics and Morphology. New York: McGraw-hill Book Company, Inc.
Schumm, Stanley A.. 1987. Experimental Fluvial Geomorphology. New York: New York:John Willey and Sons, Inc.
Thornburry, Willian D.. 1969. Principles of Geomorphology Second Edition. New York:John Willey and Sons, Inc.
Ashari, Arif. 2013. Bahan Kuliah 4 Fluvial Geomorphology. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNY.

Sumber gambar 02 dan 04: maps.google.com. Diakses pada 04 November 2013.

Identifikasi Wilayah Kepesisiran Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat

IDENTIFIKASI WILAYAH KEPESISIRAN PANGANDARAN, CIAMIS, JAWA BARAT
Achmad Fadhilah
Jurusan Pendidikan Geografi, FIS, UNY
Gambar 01. Tombolo menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Pananjung
Secara geografis, Wilayah Kepesisiran Pangandaran berada di bagian selatan Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Wilayah tersebut memiliki tipologi pesisir yang bervariasi. Terdapat tiga tipologi  pesisir di Wilayah Kepesisiran Pangandaran, yaitu: marine deposition coast, wave erosion coast, dan coast built by organism. Ketiganya merupakan tipologi pantai sekunder (secondary coast). Namun, secara umum lebih banyak didominasi oleh tipologi marine deposite coast. Marine deposition coast adalah pesisir yang dibentuk oleh deposisi material sedimen marin (Totok dkk., 2005). Pada wilayah tersebut, marine deposition coast ditandai dengan adanya material sedimen marin berupa gisik-gisik. Sedangkan, pada bagian timur ditandai dengan adanya tombolo. Tombolo adalah gisik-gisik yang menghubungkan suatu pulau dengan daratan utama (Lobeck, 1939). Tombolo ini terbentuk karena proses deposisi marin yang terhalang oleh sebuah pulau. Kemudian pada bagian yang tidak terhalang, pengangkutan material marin diteruskan dan dibelokkan menuju ke bagian yang terhalang pulau. Lambat laun material marin yang berupa gisik-gisik akan terkumpul di bagian yang terhalang pulau dan menghubungkan antara pulau utama (Jawa) dengan pulau kecil (Pananjung). Seiring berkembangnya pariwisata di Wilayah Kepesisiran Pangandaran, tombolo telah dipadati oleh rumah-rumah warga dan resort.

Gambar 02. Terlihat tombolo dipadati oleh pemukiman warga dan resort.
Di bagian barat tombolo terdapat gisik-gisik yang merupakan dissipative beach. Dissipative beach dicirikan oleh gisik-gisik yang landai dan gelombang terhamburkan. Hal tersebut dapat terbentuk karena gelombang yang datang secara bersamaan menghantam permukaan pantai (shore) yang lebar dan relatif datar. Sehingga semakin lama kekuatan gelombang menjadi berkurang dan terhamburkan. Proses yang sama juga terjadi bagian timur tombolo. Namun karena bagian tersebut terhalang oleh Pulau Pananjung, gelombang yang datang berkekuatan lemah. Sehingga pengedapan material sedimen marin tidak intens dan hanya menghasilkan gisik saku (pocket beach).
Gambar 03. Gisik membentuk susunan zig-zag.
Sedangkan, pada bagian barat Wilayah Kepesisiran Pangandaran terdapat intermediatte beach.  Intermediatte beach terbentuk karena pada bagian barat Wilayah Kepesisiran Pangandaran, gelombang tidak datang secara bersamaan. Sehingga material sedimen marin yang dihasilkan berbentuk zig-zag. Selain itu, gelombang datang (swash) tidak tegak lurus dengan bibir pantai melainkan menyerong dari arah tenggara. Kemudian sapuan balik (backwash) kembali dengan sudut tegak lurus dengan pantai (shore). Pada saat sapuan balik (backwash) belum mencapai breaker zone, gelombang datang kembali menuju pesisir. Proses tersebut terjadi berulang kali dan membentuk ingsutan pantai (beach drift).
Gb. 04. Cliff di Pulau Pananjung                                                            Gb. 05 Sea stack
   Batu Layar
Pada bagian selatan Pulau Pananjung, tipologi pesisir yang terbentuk adalah wave erosion coast. Wave erosion coast adalah pesisir dengan garis pesisir yang terbentuk akibat aktivitas gelombang, yang mungkin berpola lurus atau tidak teratur, tergantung pada komposisi maupun struktur dari batuan penyusun, seperti pada proses erosi atau abrasi pada tebing pantai (Totok dkk., 2005). Pada wilayah tersebut, tipologi wave erosion coast dicirikan oleh cliff dan stack. Cliff merupakan bentuklahan pada wilayah pesisir yang ditandai dengan tebing curam hasil dari erosi gelombang (Thornburry, 1969). Material cliff yang terdapat di Pulau Pananjung berupa batuan. Gelombang yang datang mengikis bagian selatan pulau. Proses tersebut berlangsung terus-menerus hingga akhirnya membentuk tebing curam (cliff). Pada bagian cliff yang menjorok ke laut, proses pengikisan material cliff juga berlangsung pada sisi samping cliff. Dimana proses yang terjadi adalah pembelokan gelombang ke arah samping cliff. Bagian sisi samping akan tererosi lebih cepat daripada bagian depan cliff karena pengaruh tenaga gelombang yang kuat dan terakumuluasi. Proses erosi gelombang tersebut berlangsung lama pada lapisan batuan yang lebih lemah terbentuk  plengkung laut (sea arc). Pada bagian plengkung laut yang memiliki atap yang lemah, maka atap tersebut runtuh dan sisa dari plengkung laut yang masih utuh berubah menjadi pilar laut (sea stack). Pada Wilayah Kepesisiran Pangandarn terdapat banyak sea stack dan yang paling besar adalah sea stack Batu Layar.
Gb. 06. Tampak bagian shore yang gelap adalah kumpulan          Gb. 07                                terumbu karang.                                           
Tipologi pesisir selanjutnya adalah tipologi coast built by organism. Coast built by organism merupakan pesisir dengan garis pesisir yang terbentuk akibat aktivitas hewan atau tumbuhan, termasuk terumbu karang yang dibentuk oleh alga dan oister, atau tumbuh-tumbuhan seperti mangrove atau rumput-rumput rawa (marsh grasses) (Totok dkk., 2005). Pada Wilayah Kepesisiran Pangandaran, tipologi tersebut dicirikan oleh hamparan terumbu karang (coral reef). Meskipun demikian, jumlah terumbu karang di Wilayah Kepesisiran Pangandaran tidak banyak dan keberadaannya berasosiasi dengan marine deposition coast. Hal tersebut dapat terlihat melalui citra satelit menggunakan aplikasi Google Earth (Gb. 06). Bagian yang lebih gelap yang berada di pantai (shore) merupakan terumbu karang. Kumpulan terumbu tersebut karang terpisah antara satu dengan yang lain dan dibatasi oleh material sedimen marin.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Totok dkk.. 2005. Pedoman Survey Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran. Yogyakarta: Badan Penerbit dan Percetakan Fakultas Geografi.
Thornburry, Willian D.. 1969. Principles of Geomorphology Second Edition. New York:John Willey and Sons, Inc.
Lobeck, A.K.. 1939. Geomorphology An Introduction to the Study of Landscapes. New York: McGraw-hill Book Company.Inc.
Sumber Gambar:
Gb. 01. Maps.google.com. Diakses pada tanggal 25 November 2013.
Gb. 02. Maps.google.com. Diakses pada tanggal 25 November 2013.
Gb. 03. Maps.google.com. Diakses pada tanggal 25 November 2013.
Gb. 04. Maps.google.com. Diakses pada tanggal 26 November 2013.
Gb. 05. Visit-pangandaran.com. Diakses pada tanggal 26 November 2013.
Gb. 06. Maps.google.com. Diakses pada tanggal 26 November 2013.

Gb. 07. Tour-pangandaran.me. Diakses pada tanggal 26 November 2013.

Dampak Perkembangan Kota Yogyakarta Terhadap Kondisi Airtanah

Dampak Perkembangan Kota Yogyakarta Terhadap Kondisi Airtanah
Oleh: Achmad Fadhilah
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang berkembang sangat cepat. Hal ini didasari oleh tingkat pertumbuhan penduduk dan penggunaan lahan (landuse) untuk bangunan yang semakin meningkat. Menurut BPS kota Yogyakarta tentang pertumbuhan penduduk kota Yogyakarta periode 1997-2001 mengatakan bahwa pada tahun 1997 mencapai 478.752 jiwa, tahun 1998 mencapai 483.760 jiwa, tahun 1999 mencapai 490.433 jiwa, tahun 2000 mencapai 497.699 jiwa, dan tahun 2001 mencapai 503.954 jiwa (Pemerintahan Kota Madya Yogyakarta, 2003:4). Meningkatnya jumlah ini tentu akan berdampak pada kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta. Dengan luas wilayah 32,5 KM2, kota ini memiliki kepadatan 15.476 jiwa/KM2.
Secara hidrologis, Kota Yogyakarta merupakan wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Dikaji dari segi tanahnya, tanah di Kota Yogyakarta merupakan tanah jenis regosol yang merupakan tanah bertekstur pasir yang mudah meresap air. Jika melihat kedua hal tersebut maka sebenarnya Kota Yogyakarta merupakan daerah yang kaya akan airtanah. Namun, meningkatnya penduduk dan penggunaan lahan menyebabkan persoalan berkaitan dengan kondisi airtanah.
Air merupakan sumber daya yang amat penting bagi kehidupan manusia. Keberadaannya tergantung dari ketersediaan dan penggunaannya. Dari berbagai macam sumber daya air, airtanah (groundwater) merupakan air yang banyak dipakai oleh manusia. Manusia hanya perlu menggali sumur pada kedalaman tertentu dimana terdapat lapisan batuan yang  jenuh air (saturated zone). Bagi kebanyakan orang, air tanah merupakan pilihan yang paling disukai sebgai sumber kebutuhan hidup (Chay, 2007: 262). Namun demikian, keterdapatan dan ketersediaan airtanah dipengaruhi oleh sumbernya yang berasal dari air hujan. Air hujan yang jatuh ke tanah akan terinfitrasi dan proses selanjutnya adalah perkolasi. Setelah itu air akan menuju ke bagian yang kedap air (impermeable) sehingga air bergerak secara horizontal. Bagian inilah yang disebut airtanah (groundwater).
Kota Yogyakarta yang berkembang pesat mempengaruhi kondisi airtanah baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya. Dari segi kuantitasnya, semakin banyak pemukiman tentu pengambilan airtanah juga meningkat. Pengambilan airtanah secara berlebihan mengakibatkan menurunnya permukaan airtanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010: 33). Hal ini menjadi masalah baru bagi Kota Yogyakarta. Di satu sisi perkembangan kota merupakan indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi di sisi yang lain perkembangan kota akan berpengaruh terhadap kondisi permukaan airtanah yang menadji semakin dalam. Persoalan tersebut menjadi semakin rumit ketika penggunaan lahan di Kota Yogyakarta juga mengalami peningkatan. Semakin banyaknya gedung maka akan menghalangi proses air meresap ke tanah (infitrasi) dan akhirnya hanya menjadi aliran permukaan (run off). Hal tersebut akan mengurangi input dan ketersediaan airtanah.
Jika dilihat dari segi kualitasnya, peningkatan jumlah penduduk dan pemukiman menyebabkan kualitas airtanah menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Menyempitnya jarak antar rumah menyebabkan penduduk mengindahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menentukan jarak ideal antara sumur dengan septictank. Jika jarak antara sumur dengan septictank adalah kurang dari 10 meter maka menyebabkan airtanah yang mengalir ke sumur tercemar bakteri E-Coli yang berasal dari septictank. Hal ini disebabkan gerak airtanah adalah 10 meter/hari dan bakteri E-Coli dapat bertahan hingga 1 hari. Pencemaran airtanah juga dapat berasal dari limbah industri yang dibuang secara sembarangan tanpa diolah terlebih dahulu.
Untuk mengatasi permasalahan kondisi airtanah di Kota Yogyakarta, perlu dilakukan langkah-langkah tertentu diantaranya adalah: (1) pembukaan lahan terbuka hijau. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumah daerah resapan air sehingga meningkatkan suplay air yang terinfiltrasi ke tanah dan menjadi airtanah (2) pengaturan kembali jarak aman antara septictank dan sumur warga yakni 10 meter. (3) pengaturan pengambilan airtanah. Airtanah akan terus berkurang ketersediaannya jika terus-menerus diambil. Oleh karena itu diperlukan pengaturan khusus berkaitan dengan pengambilan airtanah. (4) Pengaturan pendirian ijin bangunan. Pendirian bangunan harus berada pada lokasi yang bukan daerah resapan air. (5) penggunaan cone block/paving block. Dibanding dengan aspal, cone block/paving block memiliki peresapan air yang cukup baik sehingga diharapkan air tetap dapat terinfitrasi ke bawah.
Kota Yogyakarta yang berkembang pesat menyebabkan pertambahan penduduk dan penggunaan lahan mengalami peningkatan. Hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi airtanah baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya. Meningkatnya  jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan airtanah. Sedangkan penggunaan lahan untuk bangunan menyebabkan permukaan tanah yang menjadi media air meresap terhalang oleh bangunan. Selain itu, keberadaa septictank yang tidak terstandar juga berpengaruh terhadap pencemaran airtanah oleh bakteri E-Coli.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengeolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Kodoatie, Robert J. Dan Roestam Sjarief. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pemerintah Kota Madya Yogyakarta. 2003. Profil Kabupaten/ Kota. Yogyakarta: Pemerintah Kota Madya Yogyakarta. 

Dilema Kartu Jakarta Sehat

DILEMA KARTU JAKARTA SEHAT
Oleh:
Achmad Fadhilah, Pendidikan Geografi FIS UNY.

Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) merupakan salah satu program andalan Pemerintah DKI Jakarta. Program ini merupakan realisasi dari janji yang kepala daerah yang baru yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) semasa kampanye Pilgub DKI tahun 2012. Banyak pihak mengatakan bahwa program tersebut hanyalah sebagai “balas jasa” atas terpilihnya Jokowi dan Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Terlepas dari anggapan miring sebagian pengamat, program tersebut telah berjalan selama satu tahun lebih. Penerapan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang muncul . Berdasarkan hal tersebut, penulis akan membahas sejumlah permasalahan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) terutama masalah melonjaknya pasien yang berdampak pada jam kerja tenaga medis dan bagaimana upaya mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Kartu Jakarta Sehat bertujuan untuk membantu pasien atau penduduk miskin yang tidak memiliki cukup biaya untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Jumlah penduduk miskin di Provinsi DKI Jakarta pada bulan september 2013 sekitar 375.700 jiwa (BPS DKI Jakarta, 2014: 1). Mereka umumnya lebih memilih membeli obat yang dijual di warung-warung untuk mengobati penyakitnya. Bahkan, beberapa pasien terpaksa tidak berobat atau memeriksakan kondisi kesehatannya karena tidak punya uang untuk berobat. Dengan Kondisi tersebut, maka dibutuhkan suatu jaminan bagi mereka agar dapat berobat ke rumah sakit. Program Kartu Jakarta Sehat diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalahan di atas. Dengan program tersebut, pasien yang memiliki KJS dapat berobat ke rumah sakit yang terdaftar dalam program KJS. Namun demikian, ada beberapa syarat bagi pasien jika ingin memiliki KJS. Syarat tersebut ialah pasien pemegang KJS adalah penduduk/keluarga miskin yang dikriteriakan oleh Badan Pusat Statistik.
Teknis pelaksanakan Kartu Jakarta Sehat adalah dengan memberikan kartu kepada yang berhak menerimanya. Kemudian kartu tersebut dapat dipakai ketika berobat ke rumah sakit yang telah terdaftar dalam program Kartu Jakarta Sehat. Sebanyak 340 puskesmas dan 88 rumah sakit yang bekerja sama dengan Unit Penyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah (UP Jamkesda) untuk melayani pasien dalam program Kartu Jakarta Sehat (http://megapolitan.kompas.com) . Pada saat berobat ke puskesmas, pasien program KJS diharuskan membawa Kartu Jakarta Sehat atau Kartu Gakin/Kartu Jamkesda. Jika belum mempunyai Kartu Jakarta Sehat, pasien hanya perlu membawa KTP atau Kartu Keluarga. Sedangkan jika berobat ke rumah sakit, pasien diwajibkan Kartu Jakarta Sehat/Kartu Gakin/Kartu Jamkesda disertai surat keterangan rujukan dari puskesmas. Pihak puskesmas atau rumah sakit akan mencatat biaya periksa dan pengobatan pasien prgram KJS dan akan menagih klaim KJS kepada Unit Penyelenggrana Jaminan Kesehatan Daerah (UP Jamkesda).
Berbagai dampak dirasakan dari adanya program KJS ini. Diantaranya adalah bertambahnya jumlah pasien yang berobat ke rumah sakit. Dengan adanya jaminan berupa KJS, masyarakat tidak merasa khawatir tidak mampu membayar jika berobat ke rumah sakit. Data dari beberapa rumah sakit mencatat jumlah pasien mengalami kenaikan setelah program Kartu Jakarta Sehat. Sebagai contoh di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) jumlah pasien melonjak tajam setelah diterapkannya program KJS pada bulan November 2012. Juru bicara RSCM, Sulasti, mencatat jumlah pasien pada bulan Oktober berjumlah 2.889 pasien, November sebanyak 5358 pasien, dan Desember mencapai 7.036 pasien (http://www.tempo.co). Dari dampak kenaikan pasien tersebut, muncul beberapa persoalan baru diantaranya adalah kurangnya sarana dan prasarana, tidak siapnya rumah sakit menerima lonjakan pasien , jam kerja pegawai rumah sakit baik itu dokter, tenaga medis pembantu, dan pegawai biasa yang bertambah panjang, dan persoalan penunggakan klaim KJS oleh Unit Penyelerengara Jamkesda.
Dampak melonjaknya jumlah pasien seperti buah simalakama. Di satu sisi program KJS dapat membantu penduduk miskin untuk berobat ke rumah sakit, di sisi yang lain pihak rumah sakit khususnya tenaga medis seperti dokter kewalahan menangani pasien yang membludak. Banyak dari mereka yang memiliki KJS dapat menikmati pengobatan gratis yang belum pernah didapat sebelumnya. Selain itu kesehatan penduduk miskin juga terjamin dan akan meningkatkan kualitas hidup. Namun, berbagai dampak dirasakan oleh pihak rumah sakit seperti yang tersebut di atas. Dampak yang paling dirasakan dari pihak rumah sakit adalah lamanya waktu kerja dokter dan tenaga medis lain yang harus lembur untuk menangani pasien. Melonjaknya pasien tidak cukup ditangani pada jam kerja biasa. Sehingga diperlukan waktu lebih lama hingga malam untuk memeriksa pasien. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi fisik dokter dan tenaga medis.
Untuk mengatasi masalah jam kerja dokter dan tenaga medis yang bertambah, diperlukan solusi yang adil agar program KJS yang bertujuan baik ini tidak menambah beban di pihak penyelenggara layanan kesehatan. Penambahan dokter dan tenaga medis mendesak untuk dilakukan untuk menangani pasien KJS yang melonjak. Perlu dilakukan sistem piket/jam kerja tambahan bagi para dokter dan tenaga medis yang secara rutin bergantian melayani pasien. Sehingga beban dokter dan tenaga medis akan menjadi ringan. Insentif tambahan juga perlu diberikan kepada mereka. Selain itu, melonjaknya pasien juga harus disiasati dengan cara membagi rata ke seluruh rumah sakit yang ada di Provinsi DKI Jakarta Dengan demikian tidak terjadi penumpukan pasien pada rumah sakit tertentu.
Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) sejatinya merupakan suatu terobosan yang baik dalam rangka pemberikan pelayanan kesehatan gratis bagi pasien miskin. Namun, program ini jangan sampai menimbukan masalah baru kaitannya dengan meningkatnya jumlah pasien yang berobat ke rumah sakit. Masalah seperti lamanya jam kerja dokter dan tenaga medis perlu diatasi dengan penambahan dan pembagian jam kerja tambahan. Pihak terkait juga perlu melakukan pembagian pasien agar dapat terlayani dengan baik.
Daftar Pustaka
Akuntono, Indra. 2012. Ini Dia Daftar RS Rujukan Kartu Sehat. http://megapolitan.kompas.com. Diakses pada 14 April 2014.
Anonim. 2012. Begini Caranya Dapat Kartu Jakrta Sehat. http://www.tribunnews.com/. Diakses pada 14 Juli 2014.
BPS Provinsi DKI Jakarta. 2013. Berita Resmi Statistik. http://bps.jakarta.go.id. Diakses pada 13 April 2014.

Jayadi, Supriadi. 2013. Pasien Kartu Sehat di RSCM Melonjak 4 Kali Lipat. http://www.tempo.co. Diakses pada 14 April 2014.

Sabtu, 28 Juni 2014

Cerita Kali Keruh. Soal Toponimi, Warna Air, dan Tingkat Erosi.


Cerita Kali Keruh. Soal Toponimi, Warna Air, dan Tingkat Erosi.
Oleh: Achmad Fadhilah


Ingat dulu waktu SMK ngomong2 masalah kali keruh di Bumiayu Kabupaten Brebes salah satu teman kami melontarkan pertanyaan kenapa dinamakan kali keruh. Kemudian teman kami yang asli bumiayu menjawab karena airnya keruh. Setelah dipikir2 mungkin saja orang dulu menamakan kali keruh berdasarkan kondisi warna airnya yang selalu keruh. Tapi kenapa ya kali tersebut selalu keruh? Jawab lagi teman saya karena namanya kali keruh. Kalo ngga keruh bukan kali keruh namanya. Saya baru terpikir kalo terus ngobrolin sampai lebaran monyet juga ngga ketemu2 jawabannya. hahaha
Nah, setelah sekarang sedikit banyak tahu ilmunya sungai yang berwarna keruh dipengaruhi oleh muatan yang diangkutnya. Material angkutan sungai (load) dibagi menjadi tiga yakni: Pertama, muatan dasar (bed load) merupakan muatan yang terangkut di dasar sungai yang mempunyai tekstur kasar seperti pasir, kerikil, gravel dan partikel hasil rombakan batuan. Muatan suspensi (Suspended Load) merupakan muatan yang melayang-layang di tubuh sungai. Muatan suspensi memiliki tekstur halus berupa debu hingga lempung. Ketiga, muatan terlarut (dissolved load) berupa ion-ion yang terlarut dalam sungai. Sungai yang banyak mengangkut material suspensi (suspended load) yang berupa lempung dan  cenderung akan mengakibatkan sungai menjadi keruh. Sedangkan sungai yang mengangkut muatan dasar akan cenderung berwarna agak jernih.
Nah, sudah mulai ketahuan nih jawabannya. Eits tunggu dulu, masih ada pertanyaan lagi. Kenapa sih muatan yang banyak diangkut kali keruh itu muatan suspensi? Pasti banyak lempung yang terangkut? Ya memang, banyaknya muatan suspensi yang membuat air sungai menjadi keruh dipengaruhi oleh kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dibagian hulu. Kondisi DAS yang buruk akan mengakibatkan tingkat erosi semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat erosi semakin tinggi pula partikel tanah yang terkikis dan terangkut oleh aliran bebas permukaan (overland flow) menuju saluran sungai (runoff). Wajar saja, di hulu sungai keruh yang berada lereng barat Gunung Slamet merupakan bagian yang beberapa sudah mengalami erosi dan kondisi tanah yang sudah berkembang. Selain itu, wilayah DAS hulu yang berada di Kecamatan Sirampog juga sudah banyak dimanfaatkan untuk pertanian sawah dan sayuran pada bagian yang lebih tinggi yang dapat meningkatkan tingkat erosi. Wah, sepertinya kebanyakan teori nih sampai membahas materi semester 5 (konservasi lahan). hehehe
Ada lagi di Bumiayu yang memiliki nama unik yaitu sungai kecil yang bernama kalimaling yang sekarang berubah menjadi kalisantri. Mungkin dulu banyak malingnya tapi sekarang sudah pada tobat tuh.hahaha. Satu lagi kali yang memiliki yang unik nama terdapat di desa saya yaitu kali pedes (sungai pedas), jangan berpikir air sungainya pedas ya.hehehe ^^

Peta Pengunaan Lahan di Kabupaten Bantul

View larger map