Dampak Perkembangan
Kota Yogyakarta Terhadap Kondisi Airtanah
Oleh: Achmad Fadhilah
Kota
Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang berkembang sangat cepat.
Hal ini didasari oleh tingkat pertumbuhan penduduk dan penggunaan lahan (landuse) untuk bangunan yang semakin
meningkat. Menurut BPS kota Yogyakarta tentang pertumbuhan penduduk kota
Yogyakarta periode 1997-2001 mengatakan bahwa pada tahun 1997 mencapai 478.752
jiwa, tahun 1998 mencapai 483.760 jiwa, tahun 1999 mencapai 490.433 jiwa, tahun
2000 mencapai 497.699 jiwa, dan tahun 2001 mencapai 503.954 jiwa (Pemerintahan
Kota Madya Yogyakarta, 2003:4). Meningkatnya
jumlah ini tentu akan berdampak pada kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta. Dengan
luas wilayah 32,5 KM2, kota ini memiliki kepadatan 15.476 jiwa/KM2.
Secara
hidrologis, Kota Yogyakarta merupakan wilayah Cekungan Air Tanah (CAT)
Yogyakarta-Sleman. Dikaji dari segi
tanahnya, tanah di Kota Yogyakarta merupakan tanah jenis regosol yang merupakan
tanah bertekstur pasir yang mudah meresap air. Jika melihat kedua hal tersebut
maka sebenarnya Kota Yogyakarta merupakan daerah yang kaya akan airtanah.
Namun, meningkatnya penduduk dan penggunaan lahan menyebabkan persoalan berkaitan
dengan kondisi airtanah.
Air
merupakan sumber daya yang amat penting bagi kehidupan manusia. Keberadaannya
tergantung dari ketersediaan dan penggunaannya. Dari berbagai macam sumber daya
air, airtanah (groundwater) merupakan
air yang banyak dipakai oleh manusia. Manusia hanya perlu menggali sumur pada
kedalaman tertentu dimana terdapat lapisan batuan yang jenuh air (saturated zone). Bagi kebanyakan orang, air tanah merupakan pilihan
yang paling disukai sebgai sumber kebutuhan hidup (Chay, 2007: 262). Namun
demikian, keterdapatan dan ketersediaan airtanah dipengaruhi oleh sumbernya
yang berasal dari air hujan. Air hujan yang jatuh ke tanah akan terinfitrasi
dan proses selanjutnya adalah perkolasi. Setelah itu air akan menuju ke bagian
yang kedap air (impermeable) sehingga
air bergerak secara horizontal. Bagian inilah yang disebut airtanah (groundwater).
Kota
Yogyakarta yang berkembang pesat mempengaruhi kondisi airtanah baik dari segi
kuantitasnya maupun kualitasnya. Dari segi kuantitasnya, semakin banyak
pemukiman tentu pengambilan airtanah juga meningkat. Pengambilan airtanah
secara berlebihan mengakibatkan menurunnya permukaan airtanah (Kodoatie dan
Sjarief, 2010: 33). Hal ini menjadi masalah baru bagi Kota Yogyakarta. Di satu
sisi perkembangan kota merupakan indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi di
sisi yang lain perkembangan kota akan berpengaruh terhadap kondisi permukaan airtanah
yang menadji semakin dalam. Persoalan tersebut menjadi semakin rumit ketika
penggunaan lahan di Kota Yogyakarta juga mengalami peningkatan. Semakin
banyaknya gedung maka akan menghalangi proses air meresap ke tanah (infitrasi)
dan akhirnya hanya menjadi aliran permukaan (run off). Hal tersebut akan mengurangi input dan ketersediaan airtanah.
Jika
dilihat dari segi kualitasnya, peningkatan jumlah penduduk dan pemukiman
menyebabkan kualitas airtanah menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Menyempitnya jarak antar rumah menyebabkan penduduk mengindahkan Standar
Operasional Prosedur (SOP) dalam menentukan jarak ideal antara sumur dengan septictank. Jika jarak antara sumur
dengan septictank adalah kurang dari
10 meter maka menyebabkan airtanah yang mengalir ke sumur tercemar bakteri E-Coli yang berasal dari septictank. Hal ini disebabkan gerak
airtanah adalah 10 meter/hari dan bakteri E-Coli
dapat bertahan hingga 1 hari. Pencemaran airtanah juga dapat berasal dari
limbah industri yang dibuang secara sembarangan tanpa diolah terlebih dahulu.
Untuk
mengatasi permasalahan kondisi airtanah di Kota Yogyakarta, perlu dilakukan
langkah-langkah tertentu diantaranya adalah: (1) pembukaan lahan terbuka hijau.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumah daerah resapan air sehingga
meningkatkan suplay air yang terinfiltrasi ke tanah dan menjadi airtanah (2) pengaturan
kembali jarak aman antara septictank
dan sumur warga yakni 10 meter. (3) pengaturan pengambilan airtanah. Airtanah
akan terus berkurang ketersediaannya jika terus-menerus diambil. Oleh karena
itu diperlukan pengaturan khusus berkaitan dengan pengambilan airtanah. (4)
Pengaturan pendirian ijin bangunan. Pendirian bangunan harus berada pada lokasi
yang bukan daerah resapan air. (5) penggunaan cone block/paving block. Dibanding dengan aspal, cone block/paving block memiliki
peresapan air yang cukup baik sehingga diharapkan air tetap dapat terinfitrasi
ke bawah.
Kota
Yogyakarta yang berkembang pesat menyebabkan pertambahan penduduk dan
penggunaan lahan mengalami peningkatan. Hal tersebut berpengaruh terhadap
kondisi airtanah baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya.
Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan
peningkatan kebutuhan airtanah. Sedangkan penggunaan lahan untuk bangunan
menyebabkan permukaan tanah yang menjadi media air meresap terhalang oleh
bangunan. Selain itu, keberadaa septictank yang tidak terstandar juga
berpengaruh terhadap pencemaran airtanah oleh bakteri E-Coli.
DAFTAR
PUSTAKA
Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengeolaan Daerah Aliran
Sungai. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Kodoatie, Robert J. Dan Roestam
Sjarief. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Pemerintah Kota Madya Yogyakarta.
2003. Profil Kabupaten/ Kota.
Yogyakarta: Pemerintah Kota Madya Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar