Minggu, 13 Juli 2014

Dampak Perkembangan Kota Yogyakarta Terhadap Kondisi Airtanah

Dampak Perkembangan Kota Yogyakarta Terhadap Kondisi Airtanah
Oleh: Achmad Fadhilah
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang berkembang sangat cepat. Hal ini didasari oleh tingkat pertumbuhan penduduk dan penggunaan lahan (landuse) untuk bangunan yang semakin meningkat. Menurut BPS kota Yogyakarta tentang pertumbuhan penduduk kota Yogyakarta periode 1997-2001 mengatakan bahwa pada tahun 1997 mencapai 478.752 jiwa, tahun 1998 mencapai 483.760 jiwa, tahun 1999 mencapai 490.433 jiwa, tahun 2000 mencapai 497.699 jiwa, dan tahun 2001 mencapai 503.954 jiwa (Pemerintahan Kota Madya Yogyakarta, 2003:4). Meningkatnya jumlah ini tentu akan berdampak pada kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta. Dengan luas wilayah 32,5 KM2, kota ini memiliki kepadatan 15.476 jiwa/KM2.
Secara hidrologis, Kota Yogyakarta merupakan wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Dikaji dari segi tanahnya, tanah di Kota Yogyakarta merupakan tanah jenis regosol yang merupakan tanah bertekstur pasir yang mudah meresap air. Jika melihat kedua hal tersebut maka sebenarnya Kota Yogyakarta merupakan daerah yang kaya akan airtanah. Namun, meningkatnya penduduk dan penggunaan lahan menyebabkan persoalan berkaitan dengan kondisi airtanah.
Air merupakan sumber daya yang amat penting bagi kehidupan manusia. Keberadaannya tergantung dari ketersediaan dan penggunaannya. Dari berbagai macam sumber daya air, airtanah (groundwater) merupakan air yang banyak dipakai oleh manusia. Manusia hanya perlu menggali sumur pada kedalaman tertentu dimana terdapat lapisan batuan yang  jenuh air (saturated zone). Bagi kebanyakan orang, air tanah merupakan pilihan yang paling disukai sebgai sumber kebutuhan hidup (Chay, 2007: 262). Namun demikian, keterdapatan dan ketersediaan airtanah dipengaruhi oleh sumbernya yang berasal dari air hujan. Air hujan yang jatuh ke tanah akan terinfitrasi dan proses selanjutnya adalah perkolasi. Setelah itu air akan menuju ke bagian yang kedap air (impermeable) sehingga air bergerak secara horizontal. Bagian inilah yang disebut airtanah (groundwater).
Kota Yogyakarta yang berkembang pesat mempengaruhi kondisi airtanah baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya. Dari segi kuantitasnya, semakin banyak pemukiman tentu pengambilan airtanah juga meningkat. Pengambilan airtanah secara berlebihan mengakibatkan menurunnya permukaan airtanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010: 33). Hal ini menjadi masalah baru bagi Kota Yogyakarta. Di satu sisi perkembangan kota merupakan indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi di sisi yang lain perkembangan kota akan berpengaruh terhadap kondisi permukaan airtanah yang menadji semakin dalam. Persoalan tersebut menjadi semakin rumit ketika penggunaan lahan di Kota Yogyakarta juga mengalami peningkatan. Semakin banyaknya gedung maka akan menghalangi proses air meresap ke tanah (infitrasi) dan akhirnya hanya menjadi aliran permukaan (run off). Hal tersebut akan mengurangi input dan ketersediaan airtanah.
Jika dilihat dari segi kualitasnya, peningkatan jumlah penduduk dan pemukiman menyebabkan kualitas airtanah menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Menyempitnya jarak antar rumah menyebabkan penduduk mengindahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menentukan jarak ideal antara sumur dengan septictank. Jika jarak antara sumur dengan septictank adalah kurang dari 10 meter maka menyebabkan airtanah yang mengalir ke sumur tercemar bakteri E-Coli yang berasal dari septictank. Hal ini disebabkan gerak airtanah adalah 10 meter/hari dan bakteri E-Coli dapat bertahan hingga 1 hari. Pencemaran airtanah juga dapat berasal dari limbah industri yang dibuang secara sembarangan tanpa diolah terlebih dahulu.
Untuk mengatasi permasalahan kondisi airtanah di Kota Yogyakarta, perlu dilakukan langkah-langkah tertentu diantaranya adalah: (1) pembukaan lahan terbuka hijau. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumah daerah resapan air sehingga meningkatkan suplay air yang terinfiltrasi ke tanah dan menjadi airtanah (2) pengaturan kembali jarak aman antara septictank dan sumur warga yakni 10 meter. (3) pengaturan pengambilan airtanah. Airtanah akan terus berkurang ketersediaannya jika terus-menerus diambil. Oleh karena itu diperlukan pengaturan khusus berkaitan dengan pengambilan airtanah. (4) Pengaturan pendirian ijin bangunan. Pendirian bangunan harus berada pada lokasi yang bukan daerah resapan air. (5) penggunaan cone block/paving block. Dibanding dengan aspal, cone block/paving block memiliki peresapan air yang cukup baik sehingga diharapkan air tetap dapat terinfitrasi ke bawah.
Kota Yogyakarta yang berkembang pesat menyebabkan pertambahan penduduk dan penggunaan lahan mengalami peningkatan. Hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi airtanah baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya. Meningkatnya  jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan airtanah. Sedangkan penggunaan lahan untuk bangunan menyebabkan permukaan tanah yang menjadi media air meresap terhalang oleh bangunan. Selain itu, keberadaa septictank yang tidak terstandar juga berpengaruh terhadap pencemaran airtanah oleh bakteri E-Coli.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengeolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Kodoatie, Robert J. Dan Roestam Sjarief. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pemerintah Kota Madya Yogyakarta. 2003. Profil Kabupaten/ Kota. Yogyakarta: Pemerintah Kota Madya Yogyakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peta Pengunaan Lahan di Kabupaten Bantul

View larger map